Minggu, 20 Januari 2008

Mama Dei

Dia bukanlah seorang wanita karier, bukan pula seorang wanita yang menggondol gelar kesarjanaan apalagi master ini dan itu. Mama Dei, demikian sapaan akrabnya, adalah wanita biasa seorang ibu rumah tangga dan oma dari cucu-cucunya. Dia adalah mama mertua saya.

Sekalipun beliau bukanlah wanita karier dengan segala titelnya, tapi ada banyak hal unik dan penting yang bisa aku pelajari dari pribadi beliau. Sebagai seorang ibu, beliau sangat menyayangi putra-putranya. Terasa sekali bahwasanya dalam berbagai kesempatan berusaha adil dengan kedua putranya. Sebagai seorang istri, beliau adalah wanita yang sungguh-sungguh melayani dan mengabdi kepada suami. Sebagai seorang oma, beliau adalah oma yang cerdas untuk cucu-cucunya. Sebagai anggota majelis gereja, beliau tetap menempatkan posisinya sebagai hamba yang siap sedia melaksanakan tugasnya.

Ketika pertama berjumpa (sebelum kami menikah), sama sekali tidak tampak usaha nya untuk membuat jarak. Bahkan sebaliknya, sebagai calon mertua beliau sangat care dan bisa menerima saya apa adanya. Rasanya adeeem getoo. Ketakutan, kejaiman, bahkan jarak musnah begitu aje ketika kami ketemu. Langsung klik dan klop. Kaya temen gitu, ngerumpi, belanja, bahkan curhat2an.

Ketika kami menikah, dan beliau sempat tinggal bersama kami ketika kelahiran anak kami yang pertama, tentunya beliau banyak melihat kekurangan saya sebagai menantu. Tapi sama sekali tidak memihak kepada anaknya jika kami berselilisih paham. Bahkan seringkali beliau memberikan pandangan2 yang mendamaikan. Ketika saya tersudut dengan pola pikir suami yang salah, beliau tampil sebagai pembela dengan cara yang lembut dan penuh damai.

Pokoknya jauh deh dari image2 mertua yang seram. Usut punya usut ternyata beliau itu memelihara saat teduh dengan cara yang simpel. Berdoa, baca firman, menghapal ayat dan praktek.

Pantaslah kalau beliau menjadi wanita kecintaan banyak orang, paling tidak : suaminya, anak-anaknya, menanut2nya, juga cucu-cucunya. Pantaslah kalau roh yang lemah lembut itu makin tampak nyata dan membuat kami-kami ini segan untuk membangkang, karena beliau selalu bernaung dalam otoritas Allah. Sebelum bicara, sebelum menasihati, sebelum bertindak, beliau senantiasa menyertakan TUHAN. Tidak mengandalkan kepintaran yang pas-pasan. Tapi sungguh merupakan contoh nyata kehidupan yang mengandalkan Tuhan.

Saya berharap, bisa seperti beliau. Menjadi Istri dengan roh yang lemah lembut dan perkasa. Dan kehidupannya benar-benar menjadi suratan terbuka bagi setiap orang yang mengenalnya.

Mama Dei tetaplah manusia biasa yang masih jauh dari sempurna. Tapi keseriusannya memenuhi panggilan sebagai wanita bijak, cukup memberikan energi dan pengaruh yang positif bagi saya yang (katanya) aktivis berpengaruh... untuk terus menerus melakukan koreksi atas kekurangan karakter saya.

Tuhan Yesus, terima kasih, Kau berikan aku mama mertua yang bisa menjadi alat pengajaranMU menjadi wanita yang Engkau kehendaki. Berkati beliau, supaya terus hidup dalam naungan kasihMU dan tinggal dalam otoritasmu dalam setiap jam dan waktu. Supaya bukan hanya kami2 yang merasakan dampak dari kehadiran Mu atas nya, tapi setiap orang yang dia sentuh boleh semakin mengenal kehendakMU dalam suratanMU yang terbuka

Mama Dei, terima kasih : sudah mau terima saya sebagai menantu, dan mau mengajari saya banyak hal tanpa mama ajari. Doakan saya, supaya saya benar-benar menjadi Kristen seperti mama. Hidup untuk Kristus dimanapun dan apapun panggilan saya

I Petrus 3 : 1-5

1 Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, 2 jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu. 3 Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, 4 tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. 5 Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya,


With Love,

Farrel's Mom

Jumat, 18 Januari 2008

Malam Pertama

Suamiku senang sekali jika mengingat-ingat tentang malam pertama kami. Malam yang menurutnya sangat membanggakan, karena pada malam itu dia berhasil memecahkan segel alias virginitasku. Butuh perjuangan hingga beberapa ronde untuk memecahkan "masalah"nya.

Oh iya, ada kejadian lucu ketika malam pertama yang bisa dia jadikan bahan ledekan untukku. Waktu itu aku kesakitan sekali sampai-sampai memohon kepadanya untuk tidak terburu-buru memperbesar size Mr. P. Belum lagi aku sempat merintih dengan memanggil nama Tuhan ketika rasa sakit itu tak bisa ditundukkan. Wah, kalau ingat itu sebenarnya aku maluuuuuuu banget.

Tak bisa dipungkiri ya, ternyata para pria timur masih mendewakan virginitas. Dan kalo boleh jujur mereka akan memilih untuk menikmati "yang utuh" ketika malam pertama.

Tapi.....aku sering juga terbengong-bengong jika membaca berita survey tentang keprawanan anak-anak sekolah yang sudah banyak terenggut. Atau, tulisan-tulisan yang menceritakan betapa banyaknya anak-anak sekolah yang memilih untuk menjalani kehidupan bebas hingga terjadi kehamilan di luar nikah. Ada lagi kasus video porno yang dibuat di HP oleh pasangan2 yang masih SMU.

Ya Tuhan, apakah mereka tidak merasakan kesakitan yang pertama kali melakukan sehingga tidak menyisakan trauma? Maksudku, sedang kami saja yang melakukan tanpa dibayang-bayangi rasa takut dosa (karena sudah resmi bo) masih harus berjuang melawan trauma rasa sakit setelah di"obrak-abrik"..ini kok anak yang masih belasan tahun sudah banyak yang kebobolan?

Tak adakah keinginan di dalam hati mereka untuk menjadi bangga ketika Malam Pertama mereka nikmati? Tak adakah rasa bersalah atau takut akan masa depan sehingga banyak yang memilih untuk menikmati menu makanan yang belum saatnya mereka santap? Tidakkah kejadian - kejadian itu mengikis keyakinan diri mereka untuk merenda kehidupan di masa yang akan datang?

Harus bagaimana kita-kita sebagai hamba Tuhan menyikapi hal ini? Cukupkah sanksi tanpa pemberkatan nikah? Atau sebenarnya... anak-anak ini butuh pendekatan yang lebih logis? Aku juga tak tahu. tapi aku yakin pilihan hidup mereka menentukan keadaan kejiwaan mereka dalam menghadapi hidupnya. Aku juga yakin bahwasanya mereka juga memiliki penyesalan, hanya saja .. menurut mereka tak guna mengubah gaya hidup, toh sudah terlanjur tidak perawan?

Aku gak tau, tapi seringkali teman2ku yang sudah terlanjur terperosok melakukan hal itu sebelum waktunya mereka mengalami tekanan psikis ketika mereka ingin memulai hidup yang baru dengan pasangan yang baru pula
 

Gado-Gado Jawa Manado © 2008. Template Design By: SkinCorner